ESSAY


MENGEMBANGKAN ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI SEBAGAI HASIL CIPTA DAN KARSA KEARIFAN LOKAL GENERASI MUDA SAAT INI 


Oleh : I Gusti Ayu Era Anggreni
SMP  Wisata Sanur

                 Arsitektur tradisional adalah sebuah konsep dalam dunia perundagian atau pertukangan yang berhubungan sebuah konstruksi bangunan. Dengan kondisi seperti itu sebuah arsitektur tradisional tidak terlepas dari kearifan lokal (local genius) dari daerah masing-masing suatu wilayah (desa, kala, patra). Oleh karena itu arsitektur bukanlah produk budaya belaka, akan tetapi merupakan transformasi ide, gagasan, sekaligus norma. Arsitektur sebagai lingkungan buatan bertujuan untuk mewadahi sekaligus melindungi kepentingan manusia dimana saja atas ruang dan waktunya. Tinggi rendahnya arsitektur suatu daerah, wilayah atau kawasan bahkan bangsa dan negara sangat dilatar belakangi oleh budayanya masing-masing yang akhirnya tercermin dalam tingkat peradabannya (Rumawan Salain, 2004).
                 Ruang atau lingkungan “arsitektur” adalah pembentuk raga sekaligus jiwa manusia yang menempatinya. Yang didalamnya banyak masuk konsep-konsep lokal yang memberikan nuansa sangat penting guna memberikan suatu landasan dan pedoman dalam pelaksanaannya terutama mengenai tata letak bangunan dan ukuran yang tepat dalam kegiatan arsitektur tersebut. Arsitektur bukan sekedar bentuk dan fungsi, dia adalah juga nilai dan makna. Bentuk dapat saja berkembang “berubah”, akan tetapi fungsi, nilai dan makna arsitektur yang telah mentradisi merupakan warisan budaya yang perlu dilestarikan.

                 Kebudayaan adalah hasil hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya. Arsitektur tradisional sebagai bagian dari kebudayaan kelahirannya dilatar belakangi oleh norma-norma agama, adat kebiasaan setempat dan dilandasi oleh keadaan alam setempat (Gelebet, 1985 : 1). Justru karena berbudayalah kita setiap saat cenderung mengadakan pembaharuan-pembaharuan yang sering disebut modernisasi. Dengan demikian jelas bahwa kebudayaan selalu melatar belakangi setiap masalah dan sering menimbulkan dilema antara tradisi yang cenderung bertahan dan modernisasi yang cenderung merombak dengan membawa nilai-nilai baru, asalkan kearifan lokal tetap dilestarikan dan saling mendukung. Dalam permasalahan arsitektur tradisional khususnya di Bali tetap berpegang teguh terhadap Lontar Asta Kosala Kosali dengan memperhatikan sebuah aspek lingkungan diantara tiga posisi yang berbeda yaitu Tri Hita Karana. Konsep-konsep dan aspek inilah dapat dijadikan acuan atau pedomannya sebuah arsitektur yang ramah lingkungan dan memiliki karakter tersendiri untuk mendapatkan nilai daya jual yang tinggi. Nilai-nilai tersebut adalah nilai religius, magis, teknologi, konseptual, ritual, inovasi, ekonomi dan estetika.
                 Di era sekarang ini banyak terdapat pembangunan-pembangunan modern yang tidak melihat aspek terhadap kepedulian terhadap lingkungan, namun dengan kearifan lokal yang masih memperhatikan dampak lingkungan setidaknya kerifan lokal tersebut bisa memberikan nilai tambah yang tersendiri. Nilai tambah tersebut adalah bisa menciptakan sebuah arsitektur biologis yang mencerminkan suatu cara kehidupan harmonis, asli, ritmis dan dinamis, terjalin antara kehidupan manusia dan lingkungan sekitar secara keseluruhan.
                 Arsitektur merupakan karya manusia yang mencerminkan nilai budaya masyarakat pendukungnya. Hal ini dapat dilihat pada nilai wujud benda budaya melalui garis, bidang, ruang, ornamen, struktur, bahan, warna dan sebagainya. Dengan demikian, setiap bangunan dari kebudayaan tertentu akan mempunyai stil atau langgam dan suasana tertentu pula. Perwujudan arsitektur juga memberikan gambaran tentang sistem sosial pemiliknya, misalnya wujud lumbung dapat menjadi perwujudan arsitektur yang berfungsi sebagai tempat menyimpan padi atau gabah bagi masyarakat agraris pedesaan (Sulistyawati, 1998 : 1-3). Jadi keberadaan lumbung menunjukkan bahwa masyarakat di daerah tersebut memiliki sejarah pertanian sawah yang baik dengan sistem subaknya yang juga memperhatikan konsep Tri Hita Karana. Namun bentuk inspirasi lumbung juga sering ditemui pada jenis bangunan cottage, hotel, museum dan jenis bangunan lainnya. Walaupun demikian, di pedesaan di Bali sering terjadi hal yang sebaiknya, yaitu keberadaan jineng semakin langka akibat adanya faktor-faktor pergeseran fungsi dan banyaknya pembangunan modernisasi. Tidak hanya lumbung yang mengalami pergeseran fungsi dan penempatan ornamennya, tetapi terkadang dengan pesatnya perkembangan pembangunan dewasa ini adalah bale dangin, bale dauh, paon, bale delod, bale daja, pemesuan dan pemerajan.
                 Sejauh ini peranan Asta Kosala Kosali lah akan memberikan acuan dan pedoman “bagaimana tata ruang Bali jaman dahulu yang masih memperhatikan aspek lingkungan dan kekuatan relegiusnya” yang tentunya perlu aturan dalam setiap pembangunan. Dari tata bangunan utama, bangunan tambahan sampai dengan penataan taman pun perlu ditata sesuai kearifan lokal yang ada. Karena pekarangan atau lingkungan tata letak bangunan tentunya ada yang disebut pekarangan “berbahaya” yang sudah diberi petunjuk dalam Asta Kosala Kosali dan Asta Bhumi tersebut.
Arsitektur adalah sebuah ciptaan atau perwujudan sebuah aktivitas karya manusia yang mengutamakan konsep, unsur seni, nilai estetika dan struktur sebuah benda yang bisa memberikan kesan peradaban manusia itu sendiri dan berkreasi dengan melalui media yang ada serta dengan design tertentu.
Arsitektur banyak memiliki fungsi dalam perencanaan-perencanaan setiap kegiatan bangun ruang ataupun penataan sebuah sistem kebudayaan. Dimana setiap kebudayaan tersebut perlu dibuatkan perencanaan designnya dan dapat memberikan solusi sebuah inovasi baru dalam kekuatan perencanaan itu sendiri lewat gambar-gambar design ataupun fasad bangunan tersebut.
Tata ruang sebagai salah satu aspek pendukung dalam menata bangunan dan lingkungan sangat erat juga kaitannya dengan sebuah arsitektur. Tata ruang memiliki pengertian sebuah kaidah atau perencanaan pengaturan suatu lahan atau ruang atau jarak antara bangunan yang satu dengan yang lainnya serta lahan hijau yang ada dengan wilayah jalan dan aspek pendukung lainnya yang perlu dikelola dengan baik jaraknya. Dimana dalam lontar terdapat didalam Asta Bhumi dan terdapat pula dalam menentukan arah ruang dari hulu ke hilir atau hulu-teben.
Sumbu orientasi dibagi dua, yang pertama menurut arah matahari terbit dan terbenam yaitu sumbu kangin-kauh (Timur-Barat) sebagai sumbu religi. Sedangkan yang kedua sumbu kaja-kelod (Utara-Selatan) sebagai sumbu bumi, masing-masing dengan nilai utama untuk kaja dan kangin, nilai madia di tengah dan nilai nista untuk arah kelod dan kauh. Sumbu ke arah vertikal yaitu bhur loka (alam bawah), bhwah loka (alam tengah) dan Swah loka (alam atas) yang masing-masing dengan nilai utama, madia, dan nista. Bila pembagian tiga zone ke arah kangin-kauh dan tiga zone ke arah kaja-kelod disilangkan, terjadi sembilan zone dengan nilainya  masing-masing. Tata nilai ruang didasarkan pada tri angga (bagian kepala, badan dan kaki) serta dari konseptual tri hita karana.
Ruangan yang ada di dalam tembok batas pekarangan mempunyai fungsi untuk tempat massa-massa bangunan dan di tengah-tengah untuk ruang kosong disebut natah (halaman tengah). Fungsi natah adalah sebagai pusat orientasi dan sirkulasi. Natah juga berfungsi untuk penempatan bangunan sementara (sesalon) pada saat menyelenggarakan upacara agama.
Ruangan di luar tembok pekarangan berupa ruangan di depan pintu masuk pekarangan (kori) yang disebut lebuh dan ruangan antara tembok pekarangan dengan jalan yang disebut telajakan. Fungsi lebuh adalah sebagai ruang peralihan keluar masuk pekarangan dan juga tempat memasang sarana upacara agama seperti : sanggah cucuk, penjor dan sebagainya. Sedangkan telajakan berfungsi untuk tempat tanaman hias.
Dalam skala perumahan (desa) konsep Sanga Mandala, menempatkan kegiatan yang bersifat suci (Pura Desa) pada daerah utamaning utama (kaja-kangin), letak Pura Dalem dan kuburan pada daerah nisthaning nista (kelod-kauh) dan permukiman pada daerah madya, ini terutama terlihat pada perumahan yang memiliki pola Perempatan (catus pata) (Paturusi; 1988 : 91). Sedangkan dalam lingkup desa konsep Tri Mandala, menempatkan kegiatan yang bersifat sakral di daerah utama, kegiatan yang bersifat keduniawian (sosial, ekonomi dan perumahan) madya dan kegiatan yang dipandang kotor mengandung limbah daerah nista. Ini tercermin pada perumahan yang memiliki pola linier. Konsep tata ruang yang lebih bersifat fisik mempunyai berbagai variasi, namun demikian pada dasarnya mempunyai kesamaan sebagai berikut, yaitu :
v  Keseimbangan Kosmologis (Tri Hita Karana)
v  Hirarki tata nilai (Tri angga)
v  Orientasi kosmologis (Sanga Mandala)
v  Konsep Ruang terbuka (Natah)
v  Proporsi dan skala
v  Kronologis dan prosesi pembangunan
v  Kejujuran struktur (clarity of structure)
v  Kejujuran pemakaian material (truth of material)
(Juswadi Salija, 1975; dalam Acwin Dwijendra, 2010)
Munculnya variasi dalam pola tata ruang rumah dan perumahan di Bali karena adanya konsep Tri Pramana, sebagai landasan taktis operasional yang dikenal dengan desa-kala-patra (tempat, waktu dan keadaan) dan Desa-Mawa-Cara yang menjelaskan adanya fleksibilitas yang tetap terarah pada landasan filosofinya, dan ini ditunjukkan oleh keragaman pola desa-desa di Bali (Meganada, 1990 : 51). Perumahan tradisional Bali juga memiliki konteks kehidupan pribadi dan masyarakat serta pantangan-pantangan. Dalam konteks pribadi seperti halnya menentukan dimensi pekarangan dan proporsi bangunan memakai ukuran bagian tubuhpenghuni atau kepala keluarga, seperti tangan, kaki dan lainnya. Dasar letak bangunan dalam pekarangan memakai telapak kaki dengan hitungan Asta Wara (Sri, Guru, Yama, Rudra, Brahma, Kala, Uma) ditambah pengurip (Adhika, 1994: 25).


            






EKSISTENSI PRINSIP-PRINSIP FILSAFAT DALAM SEBUAH
AGAMA DAN FILOSOFINYA
Oleh : I KADEK ARTAYASA
Dirasakan atau tidak, ada pergeseran dalam masyarakat Bali yang semula agraris menuju masyarakat industri. Pergeseran itu tentu saja berpengaruh terhadap tatanan masyarakatnya, termasuk filosofi sawah yang ada didalamnya termasuk keberadaan organisasi sosialnya yang disebut subak. Subak adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosio-teknis-agraris-relegius, yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah (Windia, 2006: 1).
Kajian relegius dalam sistem irigasi subak ditunjukkan dengan adanya satu atau lebih pura Bedugul (untuk memuja Dewi Sri sebagai manifestasi Tuhan selaku Dewi Kesuburan atau kemakmuran), disamping adanya sanggah pecatu (bangunan suci) yang ditempatkan sekitar bangunan sadap (intake) pada setiap blok atau komplek persawahan milik petani anggota subak. Gatra relegius pada sistem irigasi subak merupakan konsep THK yang pada hakekatnya terdiri dari parhyangan, palemahan dan pawongan.
Keberadaan sistem irigasi subak, tampaknya tidak terlepas dari peranan raja-raja di Bali. Keberadaan sistem irigasi subak tersebut telah didahului sebelumnya oleh keberadaan sistem pertanian yang berkembang di Bali sejak tahun 678 (Wardha, 1989; dan Arfian, 1989). Tercatat bahwa keberadaan sistem irigasi subak di Bali memerlukan waktu 393 tahun sejak perkembangan sistem pertanian. Keberadaan atau eksistensi subak tercatat di Bali sejak tahun 1071 (Purwita, 1993).
Peranan raja-raja pada sistem irigasi seperti diuraikan sebelumnya ditemui dalam penelitian arkeologi yang menunjukkan adanya subsidi berupa pembebasan pajak kepada petani di lahan beririgasi. Subsidi seperti itu tidak diberikan kepada petani di lahan kering. Pada zamannya, raja memberikan ijin untuk membuka sawah-sawah baru dengan memanfaatkan lahan hutan yang ada di sekitar komplek persawahan yang telah ada dan sekaligus memberikan ijin untuk mengalirkan air sungai ke lahan sawah yang telah dibuat oleh petani.
Perkembangan sistem subak sebagai sistem irigasi yang berada di bawah pengaruh raja-raja, tampaknya menyebabkan sistem irigasi subak harus melakukan aktivitas organisasi yang sepadan sebagai suatu lembaga adat, yakni kegiatan yang harus sesuai dengan sosio-kultural masyarakat yang ada di kawasan itu, di bawah pimpinan para raja. Dengan demikian kiranya dapat juga disebutkan bahwa sistem irigasi subak pada dasarnya adalah suatu lembaga adat yang berfungsi untuk mengelola air irigasi untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat (petani). Selanjutnya agama Hindu yang berkembang pada saat itu di Bali yang memiliki konsep THK, yang dianut oleh para raja dan masyarakat setempat, dijadikan juga sebagai asas dan diterapkan pada sistem subak dalam melakukan kegiatannya untuk mengelola air irigasi di lahan sawah.
Dengan pertambahan jumlah penduduk, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan berkembangnya sektor-sektor lain di luar sektor pertanian menyebabkan kebutuhan air semakin meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitas. Di luar itu pembangunan di segala bidang pun terus meningkat yang membuat keberadaan lahan terus berkurang karena hasil pembangunan industri yang membutuhkan lahan untuk gedung kantor, hotel, villa, perumahan dan sekolah-sekolah. Karena persaingan terhadap keperluan sumber daya air semakin ketat dan sementara itu sektor irigasi sangat penting peranannya untuk menyediakan bahan makanan bagi penduduk, maka disarankan :
1.      Sistem irigasi harus responsif terhadap kepentingan petani.
2.      Penawaran dan permintaan terhadap air harus dapat dipertemukan sedekat mungkin.
3.      Kehilangan air harus diminimalkan.
4.      Pola tanam harus mampu merespon perubahan tingkah laku masyarakat.
Kalau dilihat dari dimensi sistem teknologi, maka sesungguhnya perubahan-perubahan pada gatra palemahan (perubahan gatra kebendaan/hardware) pada sistem subak sebagai akibat adanya perkembangan teknologi (misalnya perubahan pada sistem jaringan irigsi) seperti yang telah diuraikan, tampaknya akan tetap menjamin adanya harmoni pada sistem subak yang bersangkutan, bila gatra humanware (dari sisi petani) dapat dengan tepat memahami perbedaan karakteristik aliran air irigasi yang akan terjadi, dan gatra humanware (dari sisi pembawa teknologi) dapat dengan tepat memahami ukuran, letak dan persyaratan lain dari penerapan teknologi tersebut. Pemahaman baru dari gatra humanware, selanjutnya akan membawa perubahan pada gatra organoware dan gatra infoware. Inilah sebuah pemikiran postmodern yang bisa ditindaklanjuti melalui pemikiran kritis yang bisa menguraikan sebuah eksistensi sawah dan subak itu sendiri.

PENUTUP

        Dalam hal ini tentunya dapat dilaksanakan secara optimal teori-teori postruktural dan postmodern tentang eksistensi sawah dengan sistem persubakan yang adalah :
1.      Untuk ilmu pengetahuan akan memperkaya bidang ilmu irigasi, khususnya dalam manajemen irigasi (irrigation management) melalui hampiran sosio-teknis dengan kasus subak di Bali yang berlandaskan THK (Tri Hita Karana), yang terbukti telah mampu mengembangkan suatu manajemen pengelolaan sumber daya air (khususnya irigasi), berdasarkan pada aturan-aturan tertulis dan norma-norma religius atau agama dalam filosofinya, sehingga dapat memanfaatkan air (irigasi) untuk kehidupan manusia secara berkelanjutan. Disamping itu, bermanfaat pula untuk membuktikan kebenaran bahwa sistem irigasi subak adalah bersifat sosio-teknis dalam batas-batas tertentu memiliki peluang untuk ditransformasi ke wilayah lain. Ini berarti akan sekaligus pula mempercepat proses pembangunan irigasi yang bercirikan THK.
2.      Untuk pembangunan bangsa dan negara, diharapkan hasil kajian ini dapat bermanfaat bagi pelaksanaan pengelolaan dan pelestarian sumber daya air di Bali dan kawasan lain yang serupa, yang dinilai sudah mengalami krisis air. Karena pergeseran pembangunan industri diharapkan sawah dan persubakan tidak mengalami kepunahan dari sistem modern yang ada.
3.      Memecahkan permasalahan yakni berupa konflik penggunaan air yang bersifat multiguna, dengan mengembangkan konsep harmoni dan kebersamaan sesuai dengan hakekat THK yang melandasi sistem subak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar